Rabu, 23 Mei 2012

Imam Mahdi di Malam Nishfu Sya'ban

Suatu hari, seorang wanita shalehah menceritakan pengalamannya kepadaku. Berikut ini kisahnya:
“Kami memiliki seorang anak bernama Muhammad. Ia menderita penyakit bisu, tak bisa bicara. Kami sudah membawanya berobat ke berbagai dokter, namun tak berhasil. Suatu hari, suamiku terus memaksaku untuk berziarah ke makam Abdullah bin Musa bin Ja'far as dan berdoa disana memohon kesembuhan bagi anak kami. Akhirnya, aku menuruti keinginannya. Kami berziarah kesana tepat pada malam nishfu Sya'ban. Kulaksanakan semua ritual yang biasa dilakukan pada malam nishfu Sya'ban; seperti berdoa dan membaca surah Al-Quran. Berikutnya, aku bertawassul kepada Imam Mahdi as. Dalam doaku, aku berkata,
"Wahai Imam Mahdi..., apa yang harus kukatakan lagi dan apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan anakku. Dengan bahasa isyarat ia selalu bertanya mengapa dirinya tidak bisa bicara. Aku tak tahu harus menjawab apa. Sudah bertahun-tahun aku berusaha mengobatinya, tapi tak membuahkan hasil sedikit pun. Sekarang aku mengadu kepadamu. Jika engkau tidak mengabulkan permohonanku, aku tak tahu lagi harus berbuat apa lagi. Ini adalah usaha dan harapan terakhirku."
Aku terus berdoa sepanjang malam. Jarum jam menunjuk angka 5 pertanda Subuh akan segera tiba. Kusandarkan kepada ke dinding sambil menatap ke atas. Beberapa saat kemudian, mataku terpejam rapat. Dalam tidur aku bermimpi pintu makam terbuka. Seorang pria berwibawa diiringi oleh para ulama kota Bawiq masuk untuk mendirikan shalat Subuh. Aku langsung bangkit dan ingin bertanya pada salah seorang ulama tentang pria kharismatik itu. Mengapa para ulama besar rela berjalan di belakangnya.
Langkahku terhenti karena salah seorang dari mereka mengisyarakanku untuk duduk kembali. Kulihat ulama itu berkata kepada mereka,
"Biarkan dia..."
Aku langsung menghambur ke arahnya dan ingin mencium tangannya. Beliau menyambut sambil membelai kepalaku.
"Apa yang kau inginkan?"
"Putraku, Muhammad, sedang sakit. Ia bisu. Tuan, apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkannya?"
"Bangkit dan dirikan shalat dua rakaat untuk kesembuhannya," katanya
"Sudah kulakukan, Tuan" aku menjawab.
"Shalat lagi, wahai ibu." Ulama itu kembali menyuruh.
"Bolehkan aku tahu, siapa gerangan Tuan?"
"Aku adalah orang yang kau cari." orang misterius itu menjawab.
Saat itu juga aku yakin bahwa orang itu adalah Imam Mahdi.
"Apakah anakku akan sembuh, wahai Imam?" tanyaku.
"Ya, dia akan sembuh." Imam menjawab.
Selesai berkata demikian, sang Imam tiba-tiba pergi dan menghilang dibalik pintu makam bersama para pengiringnya.
Aku terbangun dan langsung berwudhu' dengan air minum yang kubawa. Aku mendirikan shalat dua rakaat.
Matahari pagi mulai bersinar menghangatkan bumi, saat aku keluar dari kompleks makam. Seulas senyum hangat dari suami yang setia menunggu dekat pintu keluar melengkapi keindahan pagi yang cerah itu.
"Apa yang terjadi?" tanya suami.
Maka, akupun menceritakan mimpi yang kualami.
"Di dalam mimpiku, menurut Imam Mahdi, anak kita akan sembuh," jawabku.
Kami pun bergegas pulang dan mendapati Muhammad masih tidur nyenyak. Kuamati setiap inci dari tubuhnya yang tak menampakkan perubahan sedikit pun. Hatiku hancur karena menganggap usahaku sia-sia.
Muhammad menghabiskan waktunya hanya dengan menonton televisi. Hari itu, saat matahari hampir terbenam, ketika ayahnya masih belum pulang dari toko di ujung gang, aku dikagetkan oleh sebuah suara.
"Bu..., ayah mana...?"
Aku bingung suara siapa gerangan. Aku langsung berlari dari dapur. Anakku yang selama ini hanya bisa mengerang dan merintih, ternyata sudah bisa bicara lagi. Suaranya terdengar indah memecah kesunyian sekaligus meramaikan hatiku yang selama ini senyap. Muhammad menunjuk ke arah pintu dan berteriak,
"Ayah..., ayah..." Muhammad memanggil ayahnya.
Dengan sigap, kusambar kerudung yang tergantung di dinding, kugendong Muhammad, dan bergegas ke toko di ujung gang. "Muhammad memangilmu. Ia mau keluar rumah."
Suamiku yang terlihat sumringah langsung merengkuh Muhammad dalam dekapannya. Dengan air mata bahagia yang menetes membahasi pipi, ia memberondong Muhammad dengan sejumlah pertanyaan. Muhammad menjawab semua pertanyaan itu dengan anggukan dan gelengan. Kami sadar bahwa pendengarannya juga sudah pulih.
Suamiku menutup toko dengan hati berbunga-bunga. Ia terlihat senang bercanda dengan Muhammad. Sejak saat itu hingga sekarang, aku dan suami tidak pernah absen mendirikan shalat dua rakaat sebagai bentuk rasa syukur atas kesembuhan anak kami. Setiap Kamis minggu pertama, aku selalu mengontak teman dan sabahat agar juga mendirikan shalat untuk kesehatan buah hatiku. Melalu kuasa Ilahi swt, anakku disembuhkan oleh Imam Mahdi.

MELIHAT IMAM MAHDI KETIKA BANGUN DARI SUJUD

Sayyid Al-Abthahi mengisahkan,

As-Silmasi mengisahkan sebuah kisah yang tak pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Berikut kisahnya:
“Suatu hari, saya bersama sahabat-sahabat saya melakukan salat berjamaah bersama dengan salah seorang ulama yang luas ilmunya dan sangat berwibawa serta taat beribadah. Saat itu, kami melaksanakan shalat di makam tokoh bernama Imam al-Askariy.
“Namun, ketika beliau hendak bangun dari sujudnya, beliau tiba-tiba terdiam sejenak dan tampak sedang terkesima melihat sesuatu yang begitu dikaguminya. Selama beberapa saat, ulama itu tertegun. Setelah itu, beliau  kemudian bangun dan melanjutkan salatnya hingga selesai.”
“Setelah selesai salat, kami merasa heran dan kebingungan dengan sikap ulama itu tadi. Kami tak mengerti akan sesuatu yang dilihat beliau di saat hendak bangun dari sujudnya tadi. Namun, tidak seorang pun dari kami yang berani untuk menanyakan kejanggalan itu. Wibawanya yang tinggi telah membuat kami gugup untuk menanyakan hal itu.”
“Tak lama kemudian, salah seorang sahabat saya menyuruh saya untuk menanyakannya. Saya lantas berkata padanya,
“Tidak. Kamu saja yang bertanya padanya. Bukankah kamu yang paling dekat dengannya.”
Kami sedikit berdebat saat itu, dan terdengar oleh ulama tersebut. Beliau kemudian menoleh kepada saya dan berkata,
“Apa yang kalian perbincangkan?”
Mendengar pertanyaan darinya, saya sontak menjawab,
“Kami ingin tahu apa yang engkau lihat saat akan bangun dari sujud tadi?”
Beliau terdiam sejenak dan berkata,
“Sesungguhnya saya melihat sesuatu yang sangat indah, agung dan tak akan pernah saya lupakan. Dalam shalat saya, saya melihat Imam Mahdi. Saya menyaksikan ketampanan dan keagungannya. Beliau begitu bercahaya.”
Kami pun kaget dan terkesima dengan jawaban tersebut. Maka, malam itu kami manfaatkan untuk menimba banyak ilmu kepada ulama tersebut. Terutama ilmu seputar Imam Mahdi, tanda-tanda kemunculannya serta doa-doa agar ditakdirkan untuk ebrjumpa dengannya. Kami merasa sangat beruntung, mendapat kesempatan bertemu dengan ulama tersebut.   

Rabu, 09 Mei 2012

SEMBUH DARI KOMA 2 TAHUN, SETELAH BERJUMPA DENGAN IMAM MAHDI


Peristiwa ini terjadi pada tahun 1980an. Terjadi di kota Tibriz, Iran. Kisah ini disampaikan langsung oleh seseorang yang bernama Al-Mirdamadi. Ini kisah tentang seseorang wwanita yang berjumpa dengan Imam Mahdi, ketika suaminya sedang sakit keras. Al-Mirdamadi sendiri mendengar kisah ini langsung dari orang tersebut.
Berikut kisahnya, sebagaimana disampaikan oleh Al-Mirdamadi:
“Seorang arsitek muda tinggal bersama isteri dan anaknya di kota Tibriz, Iran. Seperti biasa, setiap pagi ia pergi kerja dengan mengendarai monil. Hari itu, walaupun diluar diselimuti salju, ia tetap pergi ke kantor.
Ditengah perjalanan, jalanan macet sekali. Bahkan hampir tak bergerak. Hal itu disebabkan oleh timbunan salju yang menutupi jalan. Karena tak mungkin melanjutkan perjalanan, orang itu memutuskan untuk kembali ke rumah. Ia pun berbelok memutar mobilnya. Saat itulah, dari arah berlawanan muncul mobil dengan kecepatan tinggi. Tabrakan pun tak dapat dihindarkan.
Tubuh arsitek itu terpental ke depan membentur kaca dan mendarat keras di jalan bersalju. Ia terluka parah. Terutama di bagian kepala. Dalam sekejap, beberapa orang mengerumuni tempat kejadian itu. Dengan tubuh penuh luka, arsitek itu dibawa ke rumah sakit terdekat.
Spesialis otak di rumah sakit itu yang bernama Dokter Ashghari segera memeriksa kondisi sang arsitek. Setelah melihat keadaannya, ia segera meminta keterangan perihal kecelakaan yang menimpa sang arsitek kepada orang yang mengantarnya tadi.
Kepada isteri arsitek yang datang kemudian, Dokter Ashghari mengatakan bahwa kondisinya sangat parah. Tapi anehnya, kondisinya masih tetap bernyawa. Artinya, secara medis sebenarnya sudah akut, tapi tanda-tanda kehidupan masih tampak jelas. Ini sesuatu yang tidak biasa dalam kedokteran. Ini juga pengalaman yang belum pernah dialami sebelumnya oleh Dokter Ashghari. Kepada isteri dari arsitek itu, Dokter Ashghari kemudian mengatakan bahwa ia akan melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan suaminya.
Ditemani oleh beberapa pakar bedah yang lain, Dokter Ashghari memimpin perencanaan operasi terhadap sang arsitek. Sayangnya, kondisi sang arsitek semakin lama semakin melemah. Beberapa saat kemudian ia koma dan seluruh anggota tubuhnya tidak bergerak lagi. Meskipun beragam cara sudah dilakukan oleh para ahli, kondisi sang arsitek tidak mengalami kemajuan sedikit pun. Ia terbujur koma selama beberapa bulan. Operasi tidak jadi dilakukan.
Melihat kondisi pasien yang seperti itu, pihak rumah sakit kemudian memutuskan untuk hasil scan berikut seluruh transkrip diagnosa arsitek itu ke beberapa rumah sakit di Iran. Mereka berharap mendapt masukan dari para dokter-dokter ahli dan senior. Semua dokter terkejut mengetahui pasien separah itu masih bertahan hidup. Padahal, kondisinya sudah sangat parah.
Akhirnya, mereka sepakat untuk mengirim semua hasil diagnosa ke salah satu rumah sakit di Jerman. Gayung bersambut, dokter Jerman bersedia membantu proses penyembuhan. Tapi mereka juga menegaskan bahwa mereka pesimis bisa menolong sang arsitek.
Karena terlalu lama koma, paru-paru dan otak sang arsitek mulai mengalami pendarahan. Dengan berat hati, dokter memberitahu isteri arsitek itu bahwa semuanya mungkin akan berakhir buruk. Mereka akan berusaha semaksimal mungkin, tapi tidak bisa memberikan harapan yang berlebihan.
Saat itu, semua keluarga berkumpul di rumah sakit. Termasuk isteri dan anak arsitek itu. Isterinya tampak sangat sedih dan penuh keputusasaan. Lalu, ada seorang anggota keluarga yang mendekati isteri arsitek itu dan menyarankannya untuk berdoa kepada Imam Mahdi untuk kesembuhan suaminya. Ia menyarankan agar doa itu dipanjatkan dengan sangat khusyuk dan terus menerus selama berhari-hari.
“Insyaallah, dengan doa itu Allah swt akan menyembuhkan kesehatan suami ibu. Walaupun para dokter telah memvonis sulit untuk menyelamatkan suami ibu. Selalu ada harapan bagi para pecinta Imam Mahdi. Maut adalah kuasa Allah swt,” katanya menasehati isteri arsitek.
Sejak malam itu, isteri arsitek tak pernah alpa untuk salat malam dan berdoa kepada Imam Mahdi demi kesembuhan suaminya. Pada tengah malam, setelah suaminya dirawat sekitar 4 bulan lebih di rumah sakit, isteri arsitek itu keluar dari mushalla rumah sakit dan hendak menuju kamar tempat suaminya di rawat.
Malam itu, salju turun lebat. Halaman rumah sakit tertutup oleh butiran salju tebal. Isteri arsitek itu tampak sangat tertekan. Ia seperti semakin tipis harapan pada keselamatan suaminya yang telah empat bulan lebih di rawat. Karen tekanan yang amat sangat, wanita itu kemudian berteriak di tengah-tengah halaman yang penuh salju, memanggil-manggil Imam Mahdi dan memohon kesembuhan suaminya.
“Wahai Imam, dengarlah panggilanku ini. Dengan izin dan kuasa Allah, sembuhkanlah suamiku. Buatlah dia sehat kembali. Aku memiliki tiga anak yang akan menjadi yatim, jika ayah mereka meninggal. Aku tak sanggup menjalani hidup seperti itu. Sembuhkanlah suamiku.” ia berteriak dengan lantang di tengah halaman yang bersalju dan tersungkur bersujud di atas tanah.
Setelah itu, wanita itu kemudian masuk menuju kamar suaminya yang tetap tak sadarkan diri seperti biasanya. Namun anehnya, setelah melakukan hal tadi, berteriak memanggil nama Imam Mahdi, isteri arsitek itu merasa bahwa beban berat yang ada di dadanya seperti terangkat dan mencair.
Ia merasakan kelegaan serta perasaan damai. Bahkan, justru muncul perasaan rela dan ikhlas, jika Allah swt berkenan untuk memanggil suaminya menuju keharibaan-Nya. Entah, mengapa perasaan ikhlas itu datang tiba-tiba. Ia seperti merasa kuat dan tegar, jika suaminya kelak meninggal. Namun, isteri arsitek itu tidak begitu perhatian dengan apa yang dirasakannya itu.  
Beberapa minggu setelah itu, tak ada perubahan yang berarti pada kondisi suaminya. Namun ia terus berdoa kepada Imam Mahdi, seperti disarankan sahabat suaminya. Ia tidak putus asa. Terus berdoa memohon kesembuhan suaminya.
Pada suatu malam, ia terlelap tidur di samping suaminya yang koma, tak sadarkan diri. Isteri arsitek itu bermimpi. Ia bermimpi melihat masjid yang di depan rumahnya sesak dipenuhi oleh jamaah. Sementara di atas mimbar seorang ulama yang sangat berwibawa dan terang rona wajahnya, terlihat sedang berkhotbah tentang kisah perpisahan Husain bin Ali, cucu Nabi saw, dengan keluarganya ketika hendak menjalankan perang Karbala, yang akhirnya membuatnya gugur sebagai syahid.
Ulama itu mengisahkan detik-detik ketika cucu Nabi itu dibunuh oleh para musuhnya. Ia juga menceritakan bagaimana Sayyidah Zainab, saudara Husain sendiri, memeluk jasad kakak lelakinya dan menangis tersedu-sedu.
Tiba-tiba, ulama yang berada diatas mimbar itu menoleh kepada isteri arsitek itu dan memanggil namanya. Kontan saja isteri arsitek itu kaget dan menoleh ke arah ulama yang sedang berceramah itu.
Setelah melihat wajah ulama itu, isteri arsitek itu langsung menangis sejadi-jadinya. Ia menangis sembari mengangkat tangannya tanda syukur. Entah bagaimana, ia merasa bahwa ulama yang ada diatas mimbar itu adalah Imam Mahdi, yang selama ini selalu disebut-sebutnya dalam setiap doanya untuk kesembuhan suaminya.
Ulama itu kemudian berkata,
"Putriku. Allah swt telah mengabulkan doamu. Pergilah pada suamimu. Tidak lama lagi ia akan sembuh dan sehat kembali."
Mendengar itu, isteri arsitek itu semakin larut dalam tangis harunya. Ia memanjatkan puja-puji syukur pada Allah swt. Ia juga memanggil-manggil nama Imam Mahdi.
“Wahai Imam....Wahai Imam......” pekiknya keras.
Saat menjerit memanggil nama Imam Mahdi itulah ia dibangunkan oleh saudara perempuannya yang menemainya di rumah sakit. Isteri arsitek itu sadar dari mimpinya. Ia kemudian memeluk erat tubuh suaminya yang masih tetap tak sadar.
Sejak bermimpi itulah, isteri arsitek itu bulat keyakinannya bahwa suaminya akan sembuh total. Dan keyakinannya sangat benar. Terhitung sejak malam itu, suaminya terus mengalami perkembangan positif, sesuatu yang sama sekali tak disangka dan tak dimengerti oleh tim dokter. Kesadaran dan daya tahan tubuh arsitek itu terus mengalami perkembangan baik.
Dokter tak bisa mendeteksi bagaimana hal itu bsia terjadi. Padahal, menurut perhitungan dokter, kecil sekali kemungkinan itu terjadi. Akhirnya, satu tahun lebih setelah mimpi itu, arsitek itu sembuh total dan diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
“Hidup kami lebih tenteram berkat karamah Imam Mahdi. Betapa indahnya kala seorang pecinta yang dimabuk rindu pada Imam Mahdi bisa melihat Imamnya itu. Menyaksikan wibawa dan keagungannya, dan merasakan beliau mengabulkan permintaan. Sungguh luar biasa. Kami tidak akan pernah melupakan semua ini,” kata isteri arsitek itu setelah suaminya sembuh.
Ia pun menceritakan apa yang dialaminya itu pada suaminya. Mereka pun menjadi keluarga pecinta Imam Mahdi.   

KISAH SEORANG IBU DAN ANAKNYA YANG TERSESAT DAN DITOLONG OLEH IMAM MAHDI


Kisah ini terjadi pada isteri dan anak dari seseorang yang bernama Ridha Ad-Dezfuli. Yaitu kisah perjumpaan isteri dan anaknya dengan Imam Mahdi, saat mereka melakukan sebuah perjalanan untuk ziarah. Peristiwa ini sendiri terjadi di Irak, sekitar tahun 1980an.
Kisah ini diceritakan langsung oleh Ridha Ad-Dezfuli, sesuai dengan yang didengarnya dari isterinya. Berikut kisahnya, seperti diceritakan langsung oleh Ridha Ad-Dezfuli:

“Suatu hari, aku ingin beriziarah ke makam Imam Husein, di Karbala, Irak. Kebetulan, di kota itu aku memiliki rumah yang biasa aku kunjungi, kalau aku sedang berziarah kesana. Setelah ziarah, biasanya aku mampir ke rumah itu dan tinggal beberapa hari disana. Dalam ziarah kali ini, aku tidak sendiri. Aku membawa serta anak dan istriku. Biasanya, kami sekalian berlibur juga bersama anak-anak.
Sebelum berangkat, aku siapkan dulu keledai untuk kutunggani sendiri, serta dua ekor unta untuk anak, istri, serta bekal perjalanan. Kebetulan, saat itu ada beberapa rombongan yang juga akan berziarah ke Karbala. Jumlahnya sekitar 50 orang, terbagi dalam beberapa kelompok (kafilah). Aku dan kelaurga berangkat bersama dengan mereka.
Sepanjang separuh perjalanan, smeua berjalan lancar. Aku berada di bagian depan rombongan. Sementara isteri dan anakku berada di baris belakang rombongan, bersama-sama dengan kelompok perempuan.
Setelah beberapa lama perjalanan, kami sampai di sebuah daerah yang bernama Nakhilah. Saat itu, aku bermaksud untuk meminta minuman kepada isteriku yang memegang bekal makanan dan minuman kami. Maka, aku arahkan keledai ke belakang rombongan.
Betapa kagetnya aku, ketika tak kudapati isteri dan anakku. Aku mencoba mencair-cari ditengah-tengah romobongan, tapi tak ada. Aku tanyakan pada ibu-ibu yang ada disana, mereka juga heran dan tak tahu kapan isteri dan anakkku keluar dari rombongan.
Aku langsung memberitahu ketua kafilah. Menurut perkiraanku dan ketua kafilah, isteri dan anakku ketinggalan di belakang rombongan. Maka, ditemani ketua kafilah, aku memutar arah menyusuri jalan yang kami tempuh tadi. Anehnya, kami tidak menemukan mereka. Padahal kami sudah menempuh perjalanan yang lumayan jauh.
"Mungkin keluargamu terpisah dari rombongan dan salah jalan," kata ketua kafilah.
Kami coba mencari lagi tanpa mengenal lelah. Kekhawatiran mulai menyelusup ke dalam dada. Perkataan ketua kafilah tadi ter-ngiang jelas di telinga. Karena tidak ketemu juga, kami berdua memutuskan untuk meneruskan perjalanan ke Karbala bersama seluruh anggota kafilah yang menunggu kami. Kuhabiskan waktu sepanjang perjalanan dengan perasaan yang tak menentu.
Sesampainya di Karbala, aku berniat untuk menemui beberapa orang dan meminta bantuan mereka untuk mencari  keluargaku. Tapi sebelumnya, aku mampir terlbih dahulu di rumahku yang ada di kota itu. Aku akan mengambil beberapa perlengkapan dan uang, sebagai bekal dan bayaran untuk orang-orang yang akan membantuku mencari isteriku.
Di rumah itu biasanya ada seorang penjaga yang aku pekerjakan untuk menjaga kemanan dan kebersihan rumah. Sesampai di rumah itu, aku mengetuk pintu.
Ajaib, orang yang membukakan pintu ternyata bukan penjaga rumah, tapi istriku sendiri! Jantungku hampir berhenti berdetak karena sangat bahagia.
"Dari mana saja engkau? Dan bagaimana engkau bisa sampai disini sekarang? Naik apa? Bagaimana dengan anak-anak?" tanyaku penuh keheranan bercampur panik.
Isteri menjawab dengan tenang:
"Aku terpisah dari romobongan saat berada di Nakhilah. Saat itu, anak-anak minta makan. Saat akan membuka tempat makanan, tanganku gemetar sehingga tempat makanan itu beradu satu sama lain. Suaranya mengejutkan unta yang kukendarai. Ia berlari kencang ketakutan. Terang saja, tempat maknan itu itu semakin terguncang-guncang dan suaranya semakin nyaring. Aku panik dan ketakutan sehingga tidak bisa mengendalikan unta yang lari kesetanan itu. Aku sudah berusaha berteriak, tapi suaraku kalah nyaring dari suara dentingan rantang.
“Aku mulai putus asa. Takut jatuh terpelanting atau untaku menabrak sesuatu. Tanpa sadar, aku dan anakku menjerit meminta tolong pada Imam Mahdi. Kami memanggil-manggil nama Imam Mahdi. Kami terus menjerti-jerit menyebut nama Imam Mahdi. Beberapa saat kemudian, aku melihat pria bercahaya yang tampak kharismatik dalam busana Arabnya.”
Ia berkata kepada kami:"Jangan takut, wahai ibu."
Unta yang kami kendarai seketika menjadi tenang dan diam.
Orang itu mendekat dan bertanya,
"Kau ingin pergi ke Karbala'?"
"Ya." Jawabku.
Ia kemudian memegang tali kekang unta dan menuntunnya kembali ke jalan. Sambil berjalan, aku memberanikan diri menanyakan jati dirinya.
Orang itu menjawab:
"Aku adalah orang yang bertugas menolong orang-orang yang membutuhkan dan mencintaiku (Imam Mahdi), seperti dirimu yang hampir tersesat di gurun ini," jawabnya.
Mendengar kisah isterinya, si suami langsung menetaskan air mata. Ia sujud syukur, memanjatkan doa. Ia terus menyebut nama Imam Mahdi dan bersyukur atas pertolongan yang diberikan pada isteri dan anak-anaknya.

Senin, 07 Mei 2012

IMAM MAHDI MENYELAMATKANNYA DARI PARA PENDOSA


  
Hidup seorang ulama besar di salah satu daerah di Irak. Nama ulama ini adalah Muhammad Taqi Bafaqi. Beliau bukan saja berilmu, tapi berani menentang kedzaliman penguasa saat itu. Karena keberanian dan sikap kritisnya itulah, beliau beberapa kali dipenjara oleh penguasa. Hingga akhirnya, beliau diasingkan ke luar negeri.
Sebelum meninggal, beliau sempat menceritakan sebuah kisah rahasia kepada saudara kandungnya yang bernama Mala Asadullah Bafaqi. Yaitu, kisah bahwa dirinya pernah berjumpa dengan Imam Mahdi. Namun, beliau mewanti-wanti saudara kandungya tersebut, agar tidak menceritakan kisah ini pada siapapun, kecuali beliau sudah meninggal.
Kisah ini diceritakan langsung oleh Muhammad Taqi Bafaqi kepada saudara kandungnya tersebut. Namun, saudara kandungnya baru “membocorkan” kisah ini, setelah kakaknya itu, Muhammad Taqi Bafaqi, wafat beberapa tahun kemudian.
Berikut kisahnya, sesuai dengan yang dituturkan oleh Muhammad Taqi Bafaqi sendiri:
“Saudaraku, aku ingin menceritakan padamu sebuah kisah yang sangat penting. Kisah tentang pertemuanku dengan Imam Mahdi. Namun, aku tidak rela engkau menceritakan kisah ini kepada orang lain, hingga aku nanti telah meninggalkan dunia ini. Aku percaya dan yakin engkau akan memegang amanatku ini. Begini ceritanya.  
“Saat masih muda, aku belajar ilmu agama di Najaf, Irak. Pada suatu hari, aku berniat berziarah ke makam salah satu imam besar disana, yaitu Ali bin Musa ar-Ridha. Aku berjalan kaki, meskipun jaraknya lumayan jauh. Saat itu, udara sangat dingin. Aku menemui banyak kesulitan dalam perjalanan, terutama karena hujan lebat dan jalan-jalan yang ditutupi salju. Setelah beberapa lama perjalanan, aku sampai di sebuah dataran yang tertutup salju. Tubuhku gemetar karena dingin.”
“Lalu, aku melihat dari kejauhan sebuah kedai kopi yang memancarkan cahaya di petang yang sangat dingin itu. Melihat kedai kopi, maka aku berniat untuk beristirahat dan menghabiskan malam ini di sana, untuk kemudian melanjutkan perjalanan lagi esok hari. Ketika aku hendak masuk ke dalam kedai itu, aku melihat sejumlah orang Kurdi sedang sibuk berjudi dengan kartu dan dadu.
Hatiku miris dan sedih melihat para penjudi itu. Aku jadi bingung, apakah tetap akan masuk ke dalam kedai itu dan berkumpul satu atap dengan mereka, atau membatalkannya dan melanjutkan perjalanan. Tetapi, badanku sudah terasa sangat lelah dan kedinginan, sehingga perlu istirahat. Aku terdiam kebingungan, di depan pintu masuk kedai itu.
“Saat dalam keadaan bingung itulah, tiba-tiba aku mendengar suara memanggil-manggil,
“Mari kesini, wahai Muhammad Taqi. Kemari!”
“Maka, akupun memalingkan muka ke arah suara berasal. Aku tercengang melihatnya. Ternyata, aku lihat seseorang yang agung, berwibawa, dan sangat tampan duduk di bawah sebuah pohon besar. Ia memanggil aku untuk duduk bersamanya.
“Aku pun maju mendekatinya dan memberi salam kepadanya. Kemudian ia mengatakan:
“Wahai Muhammad Taqi, engkau tahu bahwa kedai kopi itu bukanlah tempat yang layak untukmu atau orang-orang sepertimu. Kemarilah dan duduklah di sampingku.”
“Maka, akupun datang dan duduk disampingnya. Ketika duduk di sampingnya, aku sama sekali tidak lagi merasakan udara dingin, seperti sebelumnya. Tiba-tiba udara menjadi sangat hangat, padahal disekelilingnya tetap tertutup salju. Aku heran.
“Melihat keajaiban-keajaiban itu, dan juga penilaianku terhadap ciri-ciri wajah dan tubuhnya, saat itu hati kecilku meyakini bahwa dia adalah Imam Mahdi. Hatiku langsung tergetar. Maka, malam itu aku habiskan untuk berdoa bersamanya. Aku merasa sangat bahagia, sekaligus terharu. Malam itu aku merasakan sebuah ketenangan dan kelapangan yang belum pernah aku rasakan lagi, baik sebelum mapupun setelah itu. Itu malam terindah dalam hidupku.
Ketika datang waktu Shubuh dan kami telah melakukan shalat Shubuh, Imam mengatakan,
“Waktu pagi telah menyingsing. Mari kita berangkat.”
Aku berkata kepadanya,
“Ya Sayyidi, apakah engkau mengizinkan aku untuk selalu mengabdi padamu dan senantiasa ada disampingmu?”
Ia menjawab,
“Engkau tidak dapat selalu ada bersamaku, wahai Muhammad Taqi. Takdir tidak memungkinkan untuk itu. Namun, yakinlah bahwa aku selalu menemanimu dan berada disampingmu, selama perjalanan engkau menuju makam ar-Ridha. Jangan khawatir dan takut. Teruslah berjalan untuk sampai ke makam ar-Ridha. Yakinlah bahwa Allah SWT senantiasa menjaga dan melindungimu.”
Maka, pagi itu akupun langsung melanjutkan perjalanan untuk berziarah. Berbagai halangan dan rintangan aku lewati tanpa sedikitpun ragu atau merasa lelah. Dingin salju yang menyengat, malam yang mencekam serta jalanan yang terjal seperti tidak terasa sekali. Aku berjalan dengan penuh keyakinan, bahwa Imam Mahdi menemaniku dan berada disampingku. Hingga akhirnya, aku sampai di makam ar-Ridho, dan menghabiskan waktu yang panjang untuk berdoa dan beribadah disana.  
Semoga Allah SWT menjadikan kita sebagai golongan hamba-Nya yang mencitai dan merindukan Imam Mahdi. Aku bersyukur setiap saat kepada Allah SWT, yang telah mentakdirkanku untuk berjumpa dengan Imam Mahdi.